Jumat, 08 Januari 2010

PARA PEMIMPIN MUSTADH’AFIN

Bedah Buku
PARA PEMIMPIN MUSTADH’AFIN
Sejarah panjang perjuangan melawan penindasan dan kezaliman
(Karya Dr. Ali Syari’ati)
* Oleh : Ahadar Tuhuteru, S.Pi
(Suda lama buku ini dibedah, dan menarik untuk selalu dibaca)

Dalam serangkaian perjalanannya mengelilingi dunia, Dr. Ali Syari’ati ditakjudkan oleh karya-karya besar umat manusia. Dari Tembok Cina, Taj Mahal di India, hingga Piramida di Mesir. Namun ketakjuban itu seketika menjadi kebencian yang mendalam, setelah ia mengetahui bahwa seluruh bangunan mega itu dibangun diatas penderitaan, darah, keringat dan jasad orang-orang tertindas. Bangunan mega menjadi sejarah peradaban dunia yang selalu dikenang dengan nilai arsitek tingkat tinggi tersendiri sedangkan penindasan manusia yang membangunnya menjadi ahistori tampa terungkap, tenggelang dan terkubur diatas kekaguman bangunan mega.

Selama itu, ada segelintir orang yang bangkit menentang penindasan. Mereka berasal dari kelompok yang lemah, menyuarakan keadilan Tuhan, dan bersahabat dengan kemiskinan dan perbudakan.

Siapa para pemimpin mustadh’afin itu, siapakah mereka, yang mewarisi kerajaan Allah di bumi dan bagaimana karakter membangun peradaban umat manusia tampa penindasan, serta melawan kezaliman (status quo)?
Inilah yang menarik dari buku ini untuk dibahas (baca : bedah).

Buku ini dibagi dalam tiga bagian, pertama, Muhammad dan Ali (khalifah orang tertindas); kedua, Husein dan Syahadah (terbebas dari penindasan); dan ketiga, menanti pemimpin mustad’afin.

“Adalah benar bahwa kita datang dari geografis yang berbeda, tapi perbedaan ini tidaklah seharusnya menjadi dasar pemisah dan pemecahan manusia yang kemudian melahirkan konsep asing dan kerabat”. Inilah kutipan yang sangat menarik mengawali bedah buku ini. Ternyata keberhasilan menciptakan sesuatu menjadi dambaan oleh para pengagum keperkasaan apalagi kemudian mengarah pada terbentuk peradaban baru. Peradaban yang terbentuk dari panduan berbagai ciri khas social, religius, karakter dan tingkah laku, kekuatan, keilmuan dan varian dalam komunitas suatu bangsa. Seperti kita ketahui, peradaban sering di identikan dengan bentuk perlawanan terhadap tradisional dimana peradaban merupakan tingkat tertingi dalam perkembangan sejarah manusia. Menciptakan peradaban tingkat tinggi memang membutuhkan usaha dan pengorbanan yang tinggi pula. Kadang-kadang manusia sebagai subyek juga menjadi obyek. Memang benar, kata Ali S, mereka membangun bangunan yang megah seperti tembok cina, piramida, tajmahal dengan keringat dan darah manusia. Mungkin juga candi borobudur. Karena zaman itu yang belum dilengkapi dengan teknologi seperti sekarang yang menemani dan meringankan manusia, sehingga menjadi keniscayaan manusai sebagai subjeknya. Kemudian dari pada itu, ada kecenderungan manusia dijadikan sebagai obyek praktek kuasa penguasa yang tidak menutup kemungkanan kediktatoran berlaku.
Saya menganalisa, cerita Ali S (baca : kisanak) ini sebagai fenomena yang terjadi dalam keseharian dan diduga tidak berbeda pada masa sekarang dan akan datang. Dalam hal ini, karena keinginan manusia yang selalu mencari terbaik dan sifat kepuasan yang tidak pernah berakhir, menimbulkan ekploitasi terhadap SDA dan SDM tiada akhir pula. Dalam konteks tersebut, permusuhan baik secara horisontal dan vertikal tidak dapat dihindari sebagai wujud dari keinginan yang kuat untuk menang dan menjadi terbaik. Artinya, permusuhan antar eklpoiter dengan dieksploitasi atau antara penindas dan tertindas menjadi cerita film tidak berkesudahan, termasuk perang membela kebenaran. Sehingga bisa kita merenungkan, bagaimana kisanak menjastifikasi Al-Qur’an menjadi instrumen untuk merampas dan mengeksploitasi manusia termasuk untuk mengalahkan Ali r.a. Ada kemungkinan menangkapi statemen diatas; pertama, anjuran untuk menegakan kebenaran atas nama Tuhan yang dijelaskan dalam kitab suci. Ada manusia menyebabkan kerusakan dimuka bumi (baca : eksploitasi) dan berjalan tidak sesuai dengan pranata atau aturan-aturan kemasyarakat dan sisi lain ada kewajiban untuk menjadi hero. Kedua, upaya mempertahankan diri sebagai manivestasi membela kebenaran atas nama Tuhan dan juga kadang-kadang memperjuangkan harga diri. Kemungkinan-kemungkinan (penegak dan mempertahankan) ini jika bertemu dengan alasan yang sama yakni membela kebenaran, apa yang akan terjadi. Tentunya, semuanya akan berkesudahan dengan penderitaan. Secara umum (global) ada tiga hal yang menyebabkan perang dimuka bumi, pertama keyakinan (agama), upaya untuk meyakinkan orang dengan kebanaran Tuhan yang diyakini dan merasa mempunyai kewajiban untuk menyampaikan itu kepada orang lain dan begitu pula upaya untuk mempertahan keyakinan. Kedua, perbatasan antar wilayah, baik tingkat lokal maupun manca negara, perang yang didominasi dengan penampakan superioritas (kekuatan). Ketiga, harga diri, kehormatan yang bercampur dengan egoisme yang kental membuat manusia buta menyebabkan pertengkaran. Yang kemudian dipertegas kisanak “semua peradaban, sistem pendidikan, agama-agama telah mengubah manusia menjadi binatang-binatang yang hanya tertarik kepada keuangan, ego pribadi, ibadah-ibadah hampa, atau manusia yang penuh dalih dan alasan, tapi kekurangan perasaan, cinta, inspirasi, kesucian, pengetahuan, kebijakan dan logika. Atas nama sosilogi pendidikan, seni, kebebasan seks, kebebasan finansial, eksploitasi cinta, ekspresi diri, visi dan misi, atas nama itu semua idiologi tujuan, kepercayaaan pada tanggung jawab kemanusiaan, pemihakan pada mazhab-mazhab pemikiran kini tercerabut dari hati manusia, yang kemudian mengubah manusia menjadi vas-vas kosong yang menampung apa saja yang dituangkan kedalamnya.
Muncul pemimpin Ali r.a. yang diklaim oleh kisanak sebagai pemimpin bagi umat yang berjuang tidak hanya dengan pikiran, kebijaksanaan dan ketakwaan, tapi dia melebihi batas kemampuan manusia yang mensinergiskan perkataan dan perbuatan. Ia pemimpin kaum buruh dan mereka menderita yang berdiri tegak memperjuangkan hak-hak masyarakat diatas kejujuran, kesetian, kesabaran, revolusi dan keadilan. Inilah salah satu pemimpin dari sekian pemimpin yang digolongkan dalam pemimpin mustad’afin termasuk Muhammad, Isa dan lainnya (para pengembala).

Syahid (martyr) “ orang-orang yang memilih mati sebagai pilihan tunggal demi membela keyakinan terhadap musuhnya berbeda dengan pemahaman orang barat (baca : non muslim). Konsep ini dijelaskan oleh kisanak yang mejadikan Husein sebagai obyeknya, walaupun hal ini sudah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya termasuk Ibrahim a.s.
Sepanjang sejarah manusia, gerakan-gerakan agamawi, apakah berkaitan dengan doktrin agama, hubungan sosial pemimpin-pemimpin agama dibagi dalam dua tipe : yakni rantai agama yang didirikan oleh Ibrahim dan sebelum Ibraim. Dalam konteks sekarang dan zaman sebelumnya, penguasa masyarakat selalu terdiri dari kerjasama tiga kelompok : si kuat (milter), si kaya (bangsawan) dan sipaderi (rohaniawan). Konfradorisme yang dibangun, kemudian menghasilkan pemimpin yang diktator dan dikeliling oleh pemburuh rente (baca : koruptor). Muncul sosok revolutioner tanpa kekerasan walaupun berakhir dengan kematian (Husein).
Ada dua tipikal kepiminpanan yang dapat dianalisa antara Ali a.s dan Mu’awiya. Sosok Ali yang tegas dalam menegakan kebenaran dan arif dalam berprilaku, pekerja dan dikelilingi oleh orang-orang yang setia bukan karena mengharapkan imbalan. Tidak sama dengan sorang Mu’awiya yang mempunyai visi pengembangan dan perluasan pengembanagn Islam dan membuka diri terhadap pengaruh luar yang berakhir dengan munculnya konfrador-konfrador. Konfrador ini yang sering masuk dalam katagori politikus oposan yang biasanya bergabung dengan revolusioner yang ada di manca negara yang beraksi melwan rezimnya, maka ia akan menunggu hingga kondisinya jelas dan jalan seperti apa yang dikehendaki ditempuhnya agar selamat sampai ditujuan.
Ada kutub yang bertentangan, disatu sisi kita mempunyai para intelektual dan disi lain kita mempunyai kelompok rohaniawan dalam memahami penantian yang dikaji oleh kisanak (munculnya Messiah sang Ratu Adil). Penantian ini menurut orang intelektual tidak ilmiah dalam konteks memahami jangka waktu hidup Messiah 1000-3000 tahun yang katanya akan menyelamatkan bumi ketika kerusakan sudah merajale. Kisanak menjastifikasi penganut paham ini yang membenarkan korupsi atau kerusakan dan memandang perbuatan zalim sebagai sesuatu yang alamiah. Sedangkan agamis memahami bahwa umur manusia tidak ada batasan apakah 65, 100 atau bahkan 1000 tahun (Nabi Nuh berumur 940 tahun).
Prinsip penentian yang dikehendaki adalah bangkitnya manusia demi keadlian, kebebasan, pembebasan negara tampa ekloitasi terhadap manusia. Walaupun kata kisanak, klaim anda untuk keadilan, kebebasan dan pembebasan, adalah dusta belaka, atau diperdaya oleh orang lain, sehingga keyakinan kepada penantiann juru selamat adalah mempertahankan status quo, dan merupakan pembenaran yang paling baik bagi kerusakan yang meningkat secara geometris yang menguntungkan kelompok Firuan (penguasa), Karun (pengumpul harta), Bal’am (pendusta).
Penentian yang positif yang dikehendaki oleh kisanak ada dua, pertama, penantian adalah suatu prinsip sosio-intelektual dan naluri manusia, dalam pengertian bahwa manusia secara mendasar adalah mahluk yang menanti, semakin manusiawi seseorang, semakin ia menanti. Kedua, penantian adalah dua prinsip bertentangan: kebenaran dan kenyataan. Ketiga, menanti adalah ketentuan sejarah, yang kemudian menjelaskan kejadian terdahulu sebagai pertimbangan dalam melakukan perubahan (baca : revolusi).

Akhirnya kalau saya dihadapakan pada memilih (menanti) pemimpin mustad’afin akan menggabungkan tipe Ali dan Mu’awiya yakni sosok-sosok yang mempunyai garis titik temu yakni intelektualitas. Gabungan antara kearifan, familiar, visi misi kedepan dan keinginan yang kuat untuk melakukan perbaikan tanpa eksploitasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar